Langsung ke konten utama
Ssst-4

Hiduplah Sederhana

Sutradara Hollywood terkenal, Orson Welles, ketika masih hidup sengsara pernah menunggak hutang beberapa bulan. Kreditornya mengirim surat tagihan, Welles berjanji membayar tunggakannya. Beberapa bulan berlalu, sutradara dan juga aktor terkenal itu belum melunasinya juga.
Kreditor mengiriminya surat lagi yang kira-kira berbunyi: “Bagaimana kami meneruskan usaha kalau hutang kamu yang besar itu tidak kamu lunasi?”
Orson Welles membalas mengirimi telegram yang berbunyi: “Bisa saja. Hiduplah sederhana.”

Senyum dikit-4

Agunan

Seorang pelanggan restoran gelisah karena uangnya kurang untuk pembayar harga makanan dan minuman yang telah dinikmatinya.
Boss restoran : Oh, tak masalah. Paling kami menulis namamu di dinding sana sampai kamu melunasinya, baru dihapus.
Pelanggan : Ah, jangan, jangan lakukan itu!
Boss restoran : Baik. Kalau begitu gantung jas wool-mu di dinding itu buat menutupi tulisan namamu, sampai kamu lunasi utangnya.

Mutiara Hati

Penulis Adji Subela
Bagian Ke-3

Pendek kata saya diterima Tengku Kamaliah dengan ramah-tamah. Ia pun sudah pulang dari kantornya petang itu. Entah kenapa nyaman sekali rasanya duduk di ruang tamunya. Sebuah ruang tamu yang dipenuhi segala perabotan yang bernilai seni tinggi, sebagai pancaran dari selera keluarga ini. Hal itu tidak mengherankan, karena mereka dididik secara ketat oleh guru privat Belanda totok, mulai dari pelajaran sekolah umum hingga etika dan tatakrama pergaulan gaya Barat. Jelas mereka kenyang belajar dan banyak membaca buku-buku sastra dan seni lainnya. Tanpa diduga, petang itu Tengku Kamaliah memanggil adik perempuannya untuk diperkenalkan kepada saya. Gadis itu keluar. Saya semula mengira gadis itu nanti akan bergaya a la Barat dengan pakaian yang sedikit banyak akan dipengaruhi oleh gaya berbusana bintang-bintang Hollywood seperti misalnya Heidy Lamarr atau Marlene Dietrich misalnya. Ternyata tidak sama sekali!
Di depan saya berdiri seorang gadis kecil. Saya katakan kecil, karena pada waktu itu saya taksir usianya sekitar 17 tahun, jadi sweet seventeen-lah, dengan berbaju kurung seperti halnya perempuan Melayu pada umumnya. Pun, potongan rambutnya sederhana sekali, begitu pula solah tingkahnya amat polos, lugu. Padahal ia adalah putri seorang Sultan, dan berpendidikan Barat. Itu yang membuat saya kagum, terkesimak, dan terus terang saya katakan, hati saya bergetar saat itu. Tepatlah seperti apa yang dikatakan Kahlil Gibran bahwa cinta itu adalah bahagia yang bergetar. Gadis itu bagai sebuah mutiara. Saya sangat terpesona oleh keluguan gadis ini. Polos yang spontan tak dibuat-buat. Agak lama saya berhasil menata kembali nafas saya yang sudah tidak beraturan. Sesiapa pun tentu mengetahui bahwa gadis-gadis tanah Parahyangan, tanah asal saya itu, terkenal elok-elok. Tapi sejak saya remaja, kemudian mengikuti sekolah kedokteran dan memasuki dunia kemiliteran hingga berpangkat Kapten, hati saya tidak tergetar semacam ini. Baru sekarang. Gadis kecil itu dengan sopan mengenalkan dirinya bernama Tengku Nurzehan binti Sultan Mahmud Abdul Aziz Abdul Djalil Rachmadsyah. Sudah itu saja, lalu dipersilakan duduk oleh yundanya, Tengku Kamaliah.
Dalam pandangan saya, gadis ini memiliki aura kuat sebagai keturunan Sultan, memiliki wibawa dan energi besar. Di dalam dirinya terkandung semangat hidup yang tinggi. Itu semua terbungkus dalam sosok yang lugu, polos semacam itu. Seperti juga kepercayaan orang-orang di tanah Jawa, anak keturunan raja itu memiliki sinar aura yang sudah teratur, semacam wadah yang sudah siap untuk diolah dan dikembangkan kemudian. Gadis ini pun nampak demikian pula.
Setiba saya di mess perwira yang berlokasi di Jalan Sultan Maimoon Al Rasyid, saya tidak bisa tidur. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, darah saya berdesir-desir, dan di benak saya tertinggal potret gadis lugu itu. Saya memanggilnya Kucik, Tengku Kecik, artinya Tengku Kecil. Dia anak kesebelas dari 12 putra-putri Sultan Langkat, yaitu empat laki-laki dan delapan perempuan. Apakah dia akan menjadi istri saya? Belumlah tersirat pada waktu itu. Yang jelas bayang-bayang Kucik selalu membuntuti ke mana pun saya pergi.
Sejak saat itu, maka perjalanan ‘safari’ silaturahmi saya terhenti di Jalan Yogya No.2. Setiap petang saya selalu singgah ke rumah besar tersebut untuk menemui Kucik terutama tentu saja pada malam Minggu. Kenapa saya lakukan hal itu? Jawabnya jelas, sebab ternyata saya menangkap adanya green light, ada semacam pendar-pendar sinyal positif dari Kucik sendiri. Ada semacam interaksi antarhati kami berdua, walau tidak terucapkan barang sepatah kata pun. Kalau tidak, mungkin saya sudah mundur dulu-dulu. Buat apa?
Lalu pada kira-kira bulan kedua, hati ini sudah tidak mau ditutup-tutupi. Ia memberontak ingin mengulas kata kepada Kucik. Tak ada cara lain kecuali menulis surat. Pergaulan di jaman itu memang jauh berbeda dengan remaja jaman Abad XXI ini. Tidak pernah mereka mengungkapkan perasaannya secara bulat dan terus terang. Apalagi dengan latar belakang budaya Melayu mereka yang halus penuh rasa seni tinggi, keterus terangan akan mengagetkan, dan dapat dinilai rendah oleh orang lain. Maka dari itu saya tulislah sepucuk surat cinta. Saya tumpahkan apa kata hati yang terbungkam selama ini. Hati saya meronta-ronta kegirangan, dan jadilah surat cinta itu. Tapi setelah saya baca berulang-ulang surat acap kali saya sobek lantaran masih belum kena di hati. Tentu saja saya sudah pernah menulis surat ribuan pucuk, tapi kebanyakan adalah surat dinas yang kaku dan sudah terstruktur secara baku. Tidak mudah bagi seorang militer seperti saya untuk mereka-reka kalimat yang romantik. Namun pada usaha yang kesekian kalinya, surat itu selesai sudah dan saya ukur-ukur kira-kira cukup memadailah kalimat-kalimatnya untuk meruntuhkan hati si mutiara yang tersimpan rapi di Jalan Yogya No.2 itu. Penuh rayu. Padahal terus terang saja, Bahasa Indonesia saya waktu itu masih belepotan, tidak keruan-keruan. Saya baru belajar bahasa bangsa sendiri setelah Jepang menduduki tanah air, karena di MULO kami dipaksa untuk memakai Bahasa Belanda. Jadi selain getaran cinta itu tadi, maka Bahasa Indonesia saya menjadi persoalan berat. Tapi akhirnya surat toh jadi juga. Saya ingat waktu itu bulan Juni, tapi saya sudah lupa tanggalnya. (Bersambung)
Cerpen
Maghrib di Rokan
Oleh Adji Subela
Dari
Harian Limboto Express (9/Ags/03)
Antologi Cerpen Kota – Dewan Kesenian Jakarta (2003)
Surya mulai memerah sayu, turun pelan-pelan hendak menyusupi malam. Ia bersembunyi di balik ilalang yang berjurai-jurai menusuki langit. Air sungai Rokan Kiri mengalir tenang penuh kedamaian alami, jauh dari hiruk-pikuk kota yang disesaki hawa nafsu dan dengki. Ia begitu tenang menghiliri sungai nan agung dan gerisik lembut tangkai-tangkai lalang terdengar merdu mencumbui cercah lembayung di sebelah barat sana. Bau anyirnya menanda di sana masih banyak sekali ikan-ikan.
Di ujung sebelah utara, masih di seberang barat, tampak oleh kita gubuk kayu meranti yang kini telah rapuh. Dari seberang timur sini, pantulan lembayung menimpa air sungai, begitu mistis dan penuh misteri. Lalu dua sosok bayangan manusia kelihatan mematung. Siluet hitam-hitam itu bergerak-gerak. Yang sebelah kiri tak henti-hentinya menggosok pakaian yang harus dicucinya. Satunya lagi bergerak-gerak menggoyang-goyangkan gagang tali pancingnya, berharap senja itu ia berhasil menangkap seekor kalui yang besar. Aisah tak henti-hentinya melirik Sanip, dan hatinya meronta ingin menangkap pemuda jangkung itu. Tak ada getaran yang muncul dari jejaka itu. Gadis hitam manis itu lalu tertunduk malu-malu, dalam hatinya ia ingin menampari jejaka pengecut tersebut. Aisah lalu mendongak, mendesah, mengikat kainnya lebih kencang lagi, lalu kembali mengosok, mencuci baju adik tirinya. Sanip cuma menatap tajam-tajam air Rokan yang menggelap itu.
Di depan mereka melintaslah kapal motor milik Wancik. Pria beranak tiga itu bersiul-siul sambil memegangi kemudi kapalnya. Bubunya yang sudah dua hari ia tanam di hulu, di dekat hutan Jurong, disesaki ikan-ikan. Ada kalui, besar-besar, dan dia dapatkan pula begitu banyak ikan haruan. Besar-besar pula! Sepanjang siang tadi ia siangi hasil panen ikannya itu, dan sudah pula ia garami di dalam tong-tong plastik. Hari sangat cerah akhir-akhir ini, dan dua hari lagi, tengkulak dari kota Duri akan datang menjemput ikan asin itu. Wancik tinggal menghitungnya. Per kilo ikan asin laku dijualnya duabelas ribu rupiah. Kalau ikan itu dijualnya basah, hanya seharga delapan ribu rupiah.
Lelaki itu pantas bergembira hatinya. Bahkan ketika kapalnya melewati kapal ferry penyeberangan, Wancik berteriak-teriak menegur masinisnya:
“Hoi....pelanlah sikit........aku lalu ni....kapal aku lemban kali ni, banyak ikan di dalamnya...........”
Usman, si operator ferry itu, cuma ketawa terbahak-bahak.
“Alaaaah, banyak lagak kau Cik!! Lusa tak ada lagi ikan di bubumu baru tahu rasa.....,” teriaknya.
Si pengemudi kapal ketawa sambil mengacungkan tinjunya, lalu sambil bersiul-siul dipacunya kapalnya menderu-deru meninggalkan asap mengepul dari cerobongnya, berlagak.
Suasana kembali beku, dan langit pun semakin menghitam. Burung-burung nuri tampak terbang berkejaran memburu senja. Dan di kejauhan terdengar pekik-pekik ayam hutan, ditingkah cicit burung-burung pipit yang berterbangan ke sana ke mari beramai-ramai. Tak ada hari kesepian buat makhluk kecil-kecil ini, kecuali ingin dimangsa burung alap-alap yang mengincarnya dari pokok pohon meranti yang menjulang tinggi. Sebentar lagi burung-burung itu akan riuh-rendah berciap-ciap menyambut malam, lantas hinggap dalam kesunyian tidur lelap.
Dua anak manusia di tepian sungai agung itu masih dibekui bisu. Sebuah bisu yang menyiksa Aisah selama ini. Bisu yang amat sangat menyakitkannya. Dua tahun ia jenjet (1) bisu itu ke mana-mana, bahkan ketika Arman melamarnya tempo hari. Aisah masih ingat, ia serahkan segalanya kepada Sanip di gubuk seberang sana. Segalanya, tak ada lagi sisa buat Arman atau siapa pun juga. Sanip menggelutinya, lalu menggumulinya, di sebuah senja seperti yang baru saja lewat. Lalu Sanip pergi begitu saja. Dan Arman pun patah hatinya, lalu pergi entah ke mana. Aisah dengar, ia kini ada di seberang lautan, menyodoki tandan-tandan sawit di sebuah negara bagian di Malaysia. Dan kemudian Roni datang melamar gadis hitam manis yang suka berkasai kuning itu. Ingin rasanya Aisah menerima cinta tulus Roni, tapi bayangan Sanip selalu menghantu-hantuinya.
Sanip, dia si pria di sampingnya, hanya dua langkah darinya, yang membiarkan ia merana dan kini membiarkannya ditelan bisu bulat-bulat! Tiba-tiba saja dadanya mulai memanas, kemarahannya menyelusuri urat-urat nadi tubuhnya, lalu meresapi celah-celah benaknya yang kemudian menjadi memanas berkobar-kobar. Setiap detak jantungnya kini menjadi tiupan bara! Aisah bersiap hendak bangkit.
.......lalu mulai terdengar adzan maghrib menggaung di hutan, di tepian Sungai Rokan Kiri dan menumbur-numbur awan menghitam di langit menggelap..........
Kini panas tubuhnya benar-benar memuncak. Tangannya bergetar penuh dendam-benci menggumpal-gumpal.
......adzan belum juga selesai, iramanya begitu sayu, mendayu-dayu merayu ummat untuk bersujud pada Allah........
Tiba-tiba gelap terasa pada gadis hitam manis itu. Dadanya semakin berdenyut-denyut kencang dan kepalanya kian pusing rasanya. Setan telah merasukinya di senja masuk maghrib itu.........
........adzan telah selesai............seruan untuk bersujud telah rampung....orang-orang pun berdatangan ke mushola di kampung di tepian sungai Rokan Kiri..........
Lalu sebuah pekikan kecil terdengar di kegelapan di tepi kali, lalu disusul teriakan keras, singkat, dan dua deburan berkumandang, disusul kecipak-kecipak air....... lalu Rokan kembali tenang, menghilir dengan anggunnya. Gelap semakin menusuk........
.....................................
Deru kapal Wancik taklah seseru tempo hari. Ia melambatkan laju perahu bermotornya, lalu pandangan matanya menancap di rakit tempat ia melihat dua sosok manusia dulu itu. Ia bergidik sebentar. Bubunya kosong, tak ada ikan tersangkut di dalamnya. Degub-degub mesin perahunya kian melambat dan haluan kapal beringsut menempel ke dermaga, tak jauh dari penyeberangan. Wancik melempar tali ke darat. Ditangkap oleh Usman si masinis ferry, yang lantas mengikatkannya di tiang kayu ulin. Usman tak ada kerja saat itu. Ferry-nya diam tertambat, mesinnya cuma berdegup-degup pelan. Tampaknya senja itu sepi sekali, tak ada truk atau kendaraan lain yang lewat, seperti hari telah berhenti berputar saja. Penyeberangan tersebut diadakan oleh Caltex, tapi dimanfaatkan pula oleh masyarakat untuk menyeberangi Rokan yang penuh marwah itu. Di situlah denyut kehidupan sekitarnya tampak. Jantung kehidupan Riau kini masih juga tergantung pada benda cair kehitaman yang berbau keras, cairan yang memberi kekayaan pada Texas, pada Arab Saudi, pada Venezuela, Nigeria dan negeri-negeri lainnya. Dua tahun silam daerah ini disirami rezeki dari minyak Rp35,832 triliun, tahun ini dana bagi hasil migas Rp3,215 triliun. Perusahaan raksasa itu bak angsa bertelur emas. Diganggu dia maka rusak pula denyut kehidupan rakyat di sana. Dan denyut jantung kehidupan itu kini seolah berhenti saat ini, ketika senja terasa lebih kelabu dari senja-senja sebelumnya.
Dari arah timur, sebuah sampan kecil pun mendekati dermaga itu, dan ternyata Badrun ada di atasnya. Ia menyiau sampan ketepi, lalu dalam sekali loncat ia telah ada di bagian lain dermaga dan menambat kendaraannya di situ. Semuanya membisu.
Semuanya mendiam, kelu. Mak Salamah pun, yang selalu mangecek (2) bila orang-orang datang ke kedainya di sisi jalan berdebu, kini diam seribu basa. Ia hanya menuang air panas ke cangkir berisi bubuk kopi serta gula pasir, mengaduk, lalu menyorongkan cangkir demi cangkir kopi ke tetamunya. Cukup lama mereka merekat mulutnya, sampai akhirnya Wancik berkata lirih:
“Bena kate si Usman, tak ade ikan di kapalku hari ni...lah kulepas kembali.....tak sanggop aku membawe balek ke ruma........”.(3)
“Iyo lah ibo hati kito......,” (4) Mak Salamah menimpalinya.
Baru tadi pagi penduduk menemukan mayat sepasang manusia di hilir yang sudah mulai membusuk. Mereka ditandai sebagai Sanip dan Aisah, karena Wancik, Usman dan Mak Salamah paham betul pakaian keduanya ketika terakhir mereka menjumpainya di atas rakit di suatu senja menjelang maghrib tiba.
Pelanggan-pelanggan Mak Salamah petang itu menghirup minumannya dengan lemah, tak seperti biasanya yang berbunyi keras-keras. Kepulan kreteknya pun nampak malas menaburi udara senja yang senyap tersebut. Orang-orang kampung telah kehilangan dua warganya. Seorang gadis, dan seorang jejaka yang lama merantau lalu pulang untuk mati di kampung halamannya dengan cara yang mendirikan bulu kuduk. Kedamaian hidup mereka selama ini seolah lumpuh-layu.
Tak lama lagi surya akan mulai memerah sayu, turun pelan-pelan hendak menyusupi malam. Ia bakal bersembunyi di balik ilalang yang berjurai-jurai menusuki langit. Air sungai Rokan Kiri mengalir tenang penuh kedamaian alami......dan kini berbau lebih amis, anyir. Tak lama lagi udara akan dingin tak seperti biasanya, dan malam akan semakin kelam tak seperti dulu-dulu.
.........sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang, dan akan terdengar lebih merdu dan merayu dibandingkan yang lalu......
.........sebentar lagi, orang-orang akan bersembahyang lebih khusyuk, sebab mati sudah terasa amat dekat pada mereka, dan ajaran agama belum sempat mereka jalankan selayaknya.........
Sebentar lagi pula, gubuk tua di seberang sungai Rokan Kiri runtuh, entah kenapa.
Duri, Riau, 2003
Keterangan:
menjenjet (Melayu) = menjinjing
mangecek (Minangkabau) = berkata-kata
Bahasa Melayu Riau Daratan yang artinya:
Benar kata si Usman, tak ada ikan di kapalku hari ini...telah kulepas kembali...tak sanggup aku membawa pulang ke rumah
4. Artinya: Iya lah iba hati kita
Artikel-4
Nugroho Notosusanto dan Cerpen Perang Kemerdekaannya yang Dilupakan
Oleh Adji Subela
Dari Tabloid Komunika, Edisi 8, Agustus 2008
Romantisme perang kemerdekaan muncul dalam lagu-lagu Ismail Marzuki, serta puisi Chairil Anwar. Dalam cerita pendek, kendati umumnya ditulis sesudah masa perjuangan, banyak dihasilkan oleh seseorang yang bernama Nugroho Notosusanto (15 Juni 1931-3 Juni 1985).
Almarhum Prof. Dr. Nugroho Notosusanto adalah mantan guru besar dan rektor Univ. Indonesia (1982-1983), lalu tahun 1983 diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Ia juga menjadi Kepala Pusat Sejarah ABRI (1964-1983), serta seorang sastrawan yang memiliki karya berthema khas, yaitu perang kemerdekaan. Sebagai sastrawan yang khas itu, Pak Nug – begitu ia biasa dipanggil – cukup produktif di masanya, yaitu antara tahun 1947 hingga akhir dasawarsa 70-an. Puluhan cerita pendek (cerpen) ia hasilkan.
Akan tetapi namanya seolah kikis oleh konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang ia bawa ketika baru-baru menjabat Rektor UI, serta ketika menjadi Mendikbud.
Situasi politik pada waktu itu begitu hangat sehingga tidak mampu lagi membedakan dari mana dan bagaimana seseorang harus dilihat. Semua dipukul rata. Kemunculan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus saat itu mengundang tentangan, karena situasi politik ketika itu belum kondusif dan justru pemerintah berusaha untuk mengembalikan fungsi kampus dari hiruk pikuk politik ke proses belajar mengajar yang sesungguhnya.
Masalahnya sebelumnya terjadi peristiwa demonstrasi yang mengarah ke kerusuhan pada Pra-Sidang Umum MPR, aparat keamanan (baca: ABRI) masuk ke kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), dan sejumlah aktivis mahasiswa Jakarta dan Bandung yang dianggap bertanggungjawab di tahan di ‘Kampus Kuning’, rumah tahanan militer di Jakarta dan Bekasi.
Di tengah situasi seperti itu, Nugroho datang membawa konsep yang kontroversial sehingga jadi salah satu faktor namanya kini telanjur dilupakan, kecuali oleh kalangan Fakultas Sastra Univ. Indonesia serta lingkungan Pusat Sejarah TNI. Sangat menyedihkan ketika penulis bertanya kepada seorang mahasiswa dan seorang mahasiswi fakultas tersebut yang tidak mengetahui jelas siapa almarhum. Namanya mereka kenal sedikit, tapi sulit menyeritakan siapa tokoh tersebut.
Yang lebih mengenaskan, perannya sebagai sastrawan pun mengabur dan kini orang lupa pada penulis cerpen berthema perang kemerdekaan yang produktif. Imej bahwa Nugroho berasal dari kalangan ABRI (TNI) menambah antipati di masa lalu kendati ia orang sipil. Pangkat Brigadir Jenderal ketika menjadi Kepala Pusat Sejarah ABRI adalah tituler. Bahwa dia seorang pejuang, itu jelas, karena ia masuk Tentara Pelajar hingga romantisme perjuangan masa remajanya ia resapi betul.
Kemungkinan, karyanya diabaikan orang karena berwarna ‘hijau’ di tengah sentimen yang tidak mendukung. Ternyata yang lupa akan dia bukan cuma masyarakat awam, bahkan para sastrawan dan kritikus pun tak ingat siapa Nugroho. Ketika di Jakarta ada diskusi mengenai sastra dan perjuangan kemerdekaan Agustus tahun lalu, nama Nugroho Notosusanto tak disenggol sedikit pun, padahal karangannya sangat khas, dengan setting masa perang kemerdekaan, terutama di kalangan Tentara Pelajar di mana ia bergabung.
Membaca karangan pria kelahiran Rembang, Jateng, itu kita seolah-olah dibawa ke alam nyata jaman perang dulu. Banyak informasi akurat yang bisa kita serap. Tidak salahlah kalau karyanya jadi semacam sastra dokumentasi, di mana ia menyeritakan masa perjuangan itu dengan rincian yang baik hingga orang bisa bertanya-tanya mungkin karya itu berdasarkan kisah nyata. Misalnya ia bercerita bahwa pada masa Clash I itu tentara kita masih banyak yang tidak memakai sepatu, dan bahwa banyak anggota tentara Divisi 7 Desember Belanda yang menggempur TNI pada Clash I adalah anak-anak muda kalangan sipil yang sebetulnya enggan berperang (Lihat Kumpulan Cerpen Hujan Kepagian, cetakan ke-IV, Balai Pustaka, 1983).
Selain karena atributnya sebagai anggota TNI AD, karya Nugroho dianggap kurang berbobot, dan dianggap hanya semacam catatan harian seorang pejuang. Barangkali orang melupakannya karena ia cuma punya thema tunggal yang romantismenya kian menyurut dengan semakin panjangnya jarak kita dengan Proklamasi Kemerdekaan. Di samping itu perkembangan sastra di tanah air cukup gempita.
Pada suatu saat thema sastra berbau politik, kemudian anti-pemerintah. Perkembangan selanjutnya menyegarkan karena para remaja mulai menyukai cerita-cerita lokal dengan thema cinta, seperti serial Lupus, juga karya-karya Marga T dan lain-lainnya, lalu berubah menjadi cerita yang berisi semacam pemberontakan terhadap nilai-nilai mapan, dengan menyerempet hal-hal berbau pornografi seperti karya Jenar Maesa Ayu serta Ayu Utami. Belakangan ini cerita-cerita religius mulai masuk ke minat pembaca tanah air. Ke mana sastra perang kemerdekaan?
Greget romantisme perang kemerdekaan semakin jauh, dan seolah melupakan cerita pendek yang berthema perang kemerdekaan, seperti karya Nugroho Notosusanto. Padahal karya-karya dia lugas, gampang dicerna, dengan bahasa yang sederhana pula, kecuali istilah-istilah kemiliteran pada masa itu yang masih memakai Bahasa Belanda. Selain itu gambarannya mengenai perjuangan kemerdekaan bisa jadi referensi tidak resmi suasana waktu itu. Sebenarnya banyak sastrawan perjuangan yang lain seperti Trisno Juwono (terkenal dengan novel Pagar Kawat Berduri yang pernah difilmkan) maupun Pandir Kelana (salah satu karyanya Kadarwati juga pernah difilmkan), keduanya sama-sama berasal dari lingkungan institusi keamanan. Namun Nugroho-lah yang paling produktif menulis cerpen jenis semacam itu, walaupun namanya amat sangat jarang disebut-sebut dibanding kedua orang tadi.
Dalam kumpulan cerpen yang berjudul Hijau Tanahku Hijau Bajuku (Balai Pustaka 1993, Cetakan Ke-IV) Nugroho seolah muncul sebagai ABRI tulen, bukan sekedar tituler. Setting juga sudah masa pasca perang, tapi tetap konsisten mengakar pada revolusi 45. Di cerpen Panser, ia menyorot dilema prajurit eks pejuang yang dihadapkan pada fakta kesulitan ekonomi dan etos perjuangan 45. Cerpen yang ditulis di Yogya, 18 Juli 1956 itu tidak sampai memberi jawaban terang masalah ekonomi, tapi bicara spirit perjuangannya. Dalam Kepindahan, yang ditulis di Jakarta, 11 Oktober 1958, ia bercerita tentang Letnan Sukanda yang kemungkinan ‘serong’ dengan istri Wedana. Letnan itu kemudian gugur diserang gerombolan. Pesan moral Nugroho di sini sama dengan di cerpen Konyol dan Perawan di Garis Depan (Hujan Kepagian, Balai Pustaka, 1983, Cetakan Ke-IV), bahwa berjuang harus murni, menjauhi dosa-dosa, terutama zina, walaupun sudah di alam kemerdekaan sekali pun. Tahyul positif di antara pejuang menyebutkan, kalau mereka berzina maka akan mati konyol.
Memang Nugroho Notosusanto sesekali menulis cerita di luar perjuangan kemerdekaan seperti Ular, Nini, Raden Satiman, Persalinan (dalam kumpulan cerpen Rasa Sayange, Pustaka Jaya, 1983, Cetakan Ke-IV). Tapi thema seperti ini jarang ia buat. Kalau pun ada tetap saja ada benang merah yang ia rentang hingga romantisme perjuangan kemerdekaan., seperti dalam Doa Selamat Tinggal, Karanggeneng dalam buku yang sama.
Saya pribadi mengenang Nugroho Notosusanto sebagai sosok serius, jarang tersenyum walaupun tidak berarti ia bukan humoris. Pada tahun 1982 ketika ia baru menjadi Rektor UI, saya sebagai wartawan muda sebuah koran yang menekankan pada berita kota, kriminal, dan sports, ditugasi mewawancarai konsep NKK-nya. Saya pesimistik. Saya temui dia di rumahnya di Rawamangun. Ia mengangkat alisnya ketika mendengar saya wartawan koran apa. Tapi saya punya kunci:
“Pak, saya membaca buku Bapak Hujan Kepagian waktu klas tiga SD,” tutur saya. Itu memang benar, dan ia kaget lalu minta saya menemuinya di kantornya di Salemba esok hari.
Esok paginya saya siap di aula UI Salemba. Di sana ada sederet asisten Nugroho, setumpuk makalah, sebuah layar proyeksi serta overhead projector. Semua staf yang terlibat telah siap, seolah akan ada ceramah atau kuliah umum untuk 100 mahasiswa. Rektor UI itu datang tepat waktunya dan langsung memberi kuliah konsep NKK kepada…saya seorang!
Pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan, ada baiknya kita mengenang orang-orang yang pernah memberi sumbangsih pada kemerdekaan kita. Tidak selalu untuk yang memakai bedil, tapi para seniman seperti halnya pada Ismail Marzuki, Chairil Anwar, dan banyak lagi lainnya.
Kita perlu menempatkan Nugroho Notosusanto pada porsinya sebagai sastrawan, cerpenis spesialis perang-perjuangan kemerdekaan, tanpa perlu lagi memberi stigma padanya bahwa dia itu ABRI, Orde Baru, dan sebagainya. Sama seperti kita menempatkan kembali posisi beberapa seniman yang pernah dijauhi, dan di kemudian hari jauh lebih beruntung di masa akhir hayatnya.
Karangan Nugroho yang ringan pasti bisa diserap para siswa kini yang makin tidak paham apa dan bagaimana sebetulnya merebut kemerdekaan itu. Sebuah ‘dokumentasi’ perang kemerdekaan dalam bentuk lain, bentuk seni yang langka sudah selayaknya ditempatkan di ranah yang sesuai, sepadan, proporsional dengan meninggalkan semua stigma yang pernah diderakan kepadanya.
Sentimen-sentimen lama yang merugikan, nafsu balas dendam, tentu saja akan merugikan persatuan dan kesatuan bangsa, dalam menghadapi masa depan yang kian berat dan makin menantang. Kenapa kita tak juga bersatu setelah para pendiri republik bersusah payah menyatukan kita dengan segala risiko yang mereka hadapi? Termasuk menghargai karya-karya sastra di masa itu misalnya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima