Langsung ke konten utama

Indian Street di kota Kuching


Teks foto: Indian Street di kota Kuching, Serawak. Dulu namanya Keling Street lalu diubah guna menghindari kesan rasisme. Mirip Pasar Baroe bukan? Tapi lebih bersih dan lebih teratur.

Pasar Baroe Punya Kembaran di Kuching, Serawak
Oleh Adji Subela
Sama seperti Jakarta, kota Kuching, ibukota Serawak, Malaysia Timur, juga memiliki daerah pertokoan yang mirip Pasar Baroe, di Jakarta Pusat itu.
Sama seperti di Pasar Baroe tempo doeloe, daerah pertokoan ini dulunya juga didominasi oleh para pedagang asal India yang umumnya beragama Islam, dan sama-sama terhubung oleh sepotong jalan ke daerah yang juga disebut Gambir. Persis sama seperti di Jakarta.

Pertokoan sepanjang setengah kilometer ini menjadi daerah perbelanjaan yang ramai dan populer di kota Kuching terutama pada akhir pekan. Para pedagang asal India datang ke kota Kuching pada kira-kira dua abad lalu, dan berdiam di sebuah wilayah yang kini berada di antara Jalan Barrack serta Jalan Khoo Hun Yeang.
Di daerah kecil itulah mereka membuka perniagaan, antara lain toko kain cita, sutra, karpet, minyak wangi, rumah makan, dan lain-lainnya. Semula perdagangan di sana biasa-biasa saja akan tetapi kian lama kian maju seiring dengan kian meningkatnya volume perdagangan Serawak dengan Inggris. Meningkatnya pendapatan penduduk Kuching membawa dampak semakin ramainya perniagaan orang-orang asal India itu.
Orang-orang India itu pun kemudian membawa serta para kerabatnya untuk merantau ke negeri Serawak tersebut.
Komunitas India itu kemudian mendirikan mesjid di sebuah gang kecil, yang dulu dikenal dengan nama Lorong Sempit, agar tidak terlalu jauh kalau beribadah. Kini gang tersebut dinamakan Indian Mosque Lane. Gang kecil inilah yang menghubungkan daerah pertokoan orang India dengan Jalan Gambir hingga sekarang.
Jalan utama di tengah pertokoan itu semula disebut sebagai Keling Street di tahun 1850. Raja Serawak yang berasal dari Inggris, yaitu Charles Vyner Brooke, kemudian mengganti nama jalan yang bernada ejekan berbau rasis itu menjadi Indian Street pada tahun 1928 dan terkenal hingga sekarang.
Jalan utama itu sejak tahun 1992 tertutup untuk kendaraan umum, dan menjadi jalur pejalan kaki. Sayangnya gang di Pasar Baroe Jakarta mulai dimasuki kendaraan bermotor. Gapura sebelah barat di bangun mirip gapura Pasar Baroe Jakarta, yang bernuansa etnik Tionghoa, dan diujung jalan sebelah selatan diakhiri di gedung Little Lebanon, bangunan bergaya campuran Asia-Eropa dan Timur Tengah.
Saat ini pertokoan Indian Street di kota Kuching, Serawak, Malaysia Timur ini didominasi pedagang keturunan Tionghoa dan hanya sekitar sepuluh orang keluarga India yang tertinggal, yang membuka toko kain, restoran, dan usaha lainnya. Para pedagang asal India yang berhasil menjadi kaya raya, banyak yang pulang ke negerinya dan tidak pernah kembali lagi.
Namun demikian para perantau asal anak benua Asia itu sebagian bertahan di kota Kuching dan memberi warna budaya tersendiri bagi Negara Bagian Serawak. Terjadi akulturasi budaya, antara lain diwujudkan dalam kesenian serta kulinernya.
Sejumlah pedagang keturunan India lainnya kini berjualan di sepanjang Jalan Gambir dan di pasar tradisional di daerah itu. Mereka umumnya berjualan rempah-rempah khas India seperti bubuk kari, biji dal, bubuk kunyit, ketumbar, cabe kering, ratus wangi, dan lain-lainnya.
Selain Indian Street tersebut, maka Jalan Gambir kini memancarkan sisa-sisa pengaruh masyarakat India yang dulu pernah bermukim di Kuching. Mereka sebagian besar masih mempertahankan bahasa, adat-istiadat mereka. Pada siang hingga petang harinya mereka sering berkumpul di kedai-kedai India di pasar Gambir itu, menikmati kopi dan makanan lainnya.
Daerah Indian Street, Jalan Gambir dan sekitarnya terpelihara rapi, dan menjadi asset penting pariwisata kota Kuching. Wisatawan dapat dengan nyaman dan aman menikmati kota-kota tua peninggalan kolonial Inggris, baik yang memiliki pengaruh India maupun Cina. Di beberapa tempat dipasang papan-papan informasi mengenai apa dan bagaimana Indian Street tersebut. Di ujung selatan terdapat satu gedung warisan kolonial yang terpelihara baik, dan dijadikan restoran Timur Tengah. Di selatannya lagi terdapat pecinan, di mana nuansa Tionghoa-nya amat kental terasa. Pada hari-hari besar Cina, pecinan ini ramai oleh berbagai hiasan dan atraksi seni lainnya. Persis seperti di Pasar Baroe, Jakarta kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima