Langsung ke konten utama

Mbah Misdi dari Mbarong ke Pengrajin Reog Ponorogo

Pernah menjalani ritual “magis”
 Membuat reog di AS
Reognya “diboikot” di AS

Oleh Adji Subela

Mbah Misdi di depan barongan
            Nama Mbah Misdi (85 th) nampaknya tak asing bagi masyarakat penggemar atau pemerhati Reog di Ponorogo, Jatim, terutama para siswa/siswi SMU atau SLTP. Pria yang lugu, ramah, tapi kukuh dalam berpendirian ini sering menjadi narasumber mereka mengenai sejarah maupun lika-liku pereogan di Ponorogo.
            Ia berasal dari Desa Kauman, tapi karena perkawinan, ia pindah ke Desa Purbosuman sampai sekarang.
            Mengamati Mbah Misdi, maka kita akan dapat melihat model orang Ponorogo pada umumnya. Rendah hati, ramah, kukuh dalam pendirian, tapi tidak mau diganggu apalagi difitnah. Umumnya difitnah merupakan pantangan besar bagi rata-rata orang Ponorogo asli.
            Sosok tubuhnya menurut istilah Jawa sedepah, tidak terlalu tinggi tapi kekar, kukuh. Lehernya nampak besar dan kuat, sebagai salah satu ciri tukang mbarong pada umumnya.

  • Mereog sejak awal kemerdekaan
            Di masa remajanya, di awal kemerdekaan, Mbah Misdi sudah terlibat kegiatan reog karena tertarik dengan kesenian asli Ponorogo tersebut. Dari tari jathilan, bujang ganong, tukang kendang, tukang slompret dan lain-lainnya ia coba semua.
Puncak dari semuanya itu adalah menjadi penari barongannya. Ini sangat berat, karena memerlukan fisik yang kuat dan mental baja pula. Bayangkan, seorang pembarong harus siap menggigit dan membawa barongan kepala macan dan dadak merak yang beratnya mencapai 60 kg lebih itu di kepalanya. Belum lagi kalau barongan itu mengangkut seorang pria di atasnya.
            Dia harus mampu menahan terpaan angin dan mengibas dadak merak itu sesuai gerak tarinya. Salah satukehebatan pembarong adalah sejauh mana ia mampu menggerakkan barongan itu dengan variatif dan dengan tingkat kesulitan tinggi.

  • Pernah melakoni ritual “ghaib”
            Di masa mudanya, Mbah Misdi merasakan tingkat seperti itu. Iamengakui, pada masa mudanya ia pernah tergoda untuk menjadi pembarong “asli” yang umumnya melakoni beberapa ritual. Selain menjalani latihan fisik Mbah Misdi mengakui ia pernah bertapa di tigatempat wingit (angker) yang umumnya dipakai para pembarong untuk mendapatkan kekuatan lebih serta pengukuhan sebagai tukang mbarong asli di masa itu.
            Hasilnya memang luar biasa, akan tetapi godaannya tak ada hentinya. Selalu ada persoalan yang muncul ketika ia dan rombongannya “iker” atau mencapai puncak gerak tariannya. Berbagai gerakan musykil dapat dilakukannya. Padahal menurutnya semuanya berkat latihan dan keseriusan para anggota kelompoknya. Bahkan ketika rombongan reognya mulai menabuh gamelan, orang mulai tertarik dan berkumpul. Ini sering membuat kelompok lainnya iri dan sering terjadi perkelahian di masa itu.
            Pernah pada suatu saat di tahun 50-an ketika ia dan rombongan beriringan pulang membarong, ada ketua kelompok lain yang terbakar hatinya lalu mendekati barongan Mbah Misdi. Tanpa diketahuinya orang itu menusukkan keris ke kepala macan barongan, dengan maksud mencederainya. Mbah Misdi kaget melihat ada keris menancap hanya berjarak 15 cm dari wajahnya.

  • Melepaskan semua “pegangannya”
Setelah sadar bahwa tenaga “pinjaman” itu tidak membawa berkah sama sekali, Mbah Misdi melepaskan itu semua, dan reog lalu melulu menjadi ekspresi seni murni baginya.
            Itu merupakan pengalaman pahit selama ia bersentuhan dengan dunia ghaib. Namun sampai sekarang, Mbah Misdi tak dapat memungkiri, ada sebagian barongan reog yang masih dikutugi, atau dibakari kemenyan pada hari-hari tertentu. Baginya hal itu sebenarnya tidak perlu ada kalau sejak awal tidak diperlakukan seperti itu.
            “Itu sebenarnya mengotori arti sesungguhnya seni reog,” ujarnya. Pendapat yang sama pernah disampaikan almarhum Mbah Kamituwa Kucing asal Sumoroto yang kala itu menjadi tetua reog.
            Kini Mbah Misdi hidup sederhana dari hasil membuat dan menjual kerajinan reog di rumahnya. Di bagian depan rumahnya yang sederhana, ia membangun workshop, tempat ia mengerjakan kerajinan itu.

  • Awalnya terpaksa
Sejumlah siswi SMAN 1 Ponorogo melihat Mbah Misdi membuat reog
            Semula ia tak pernah berpikir menjadi pengrajin reog. Awalnya terjadi tahun 1980 ketika seorang pria dengan pakaian sangat sederhana bertanya apakah Mbah Misdi bisa membuatkannya satu perangkat reog komplet. Waktu itu Mbah Misdi tidak menaruh perhatian serius sehingga asal menjawab, “Bisa,” itu saja. Ternyata orang itu meninggalkan uang muka Rp.1,5 juta, satu jumlah luar biasa waktu itu.
            Pesanan diselesaikan tepat waktu dan ia mengantarkannya ke Surabaya. Ternyata pria misterius itu adalah seseorang yang sangat berada, rumahnya sangat mewah di kompleks permahan elite ibukota Jatim tersebut. Di sana ia mendapatkan tambahan Rp.4,5 juta lagi. Sungguh suatu jumlah di luar dugaaannya, dan jauh melebihi segala modal yang ia keluarkan. Mbah Misdi lalu mendapatkan inspirasi, kenapa dia tidak membuat souvenir reog untuk buah tangan turis yang berkunjung ke kotanya.

  • Sulit masuk ke AS
            Ada peristiwa yang “lucu” yaitu ketika ia harus mengirim seperangkat reog ke Amerika Serikat, belum lama ini. Ternyata barangnya tidak boleh masuk, sebab menggunakan kulit macan dan bulu merak asli. Harus ada klarifikasi mengenai asal-usul kulit dan bulu hewan itu. “Lha ya bagaimana adanya ya memang begitu,” tuturnya dengan lugu.
            Mengenai bahan reog, Mbah Misdi mengaku kulit macan masih gampang didapat dari Sumatra. Tapi bulu merak harus diimpor dari India, sebab di sana peternakan merak sudah banyak, di Indonesia tidak ada.
            “Kenapa enggak pakai bahan imitasi Mbah?” tanya saya.
            “Sudah pernah dicoba, tapi hasilnya kok enggak sreg. Tetap ada kurangnya,” jawabnya.
            Setiap menjelang 1 Muharram, pesanan karyanya melonjak, sebab pada saat itu diadakan festival reog se-Nusantara di Ponorogo. Banyak pengunjung datang termasuk orang wismannya.

  • Membuat reog di AS
            Berkat keahliannya itu ia menjadi narasumber masalah reog di dalam maupun luar negeri.Beberapa kali ia pergi ke beberapa negara lain untuk bercerita mengenai reog.
Pernah ia dan rombongan diundang ke Amerika Serikat guna memperagakan pembuatan perangkat reog sampai ke instrumen gamelannya dari awal hingga jadi. Mereka mengangkut semua bahan yang diperlukan itu. Hampir dua bulan ia dan rombongan tinggal di negeri Adidaya itu untuk mengenalkan bagaimana perangkat reog dibuat, mulai dari barongan, penthulan Bujang Ganong, pakaian jathilan, kuda lumping, dan lain-lainnya. Semua kegiatan itu didokumentasikan entah oleh siapa Mbah Misdi pun tak tahu. Ia bangga kini sudah ada sejumlah orang Bule yang jadi tukang mbarong.  Pengalaman yang tak terlupakan baginya.   
Hari-hari di luar itu dijalani Mbah Misdi dengan penuh pasrah dan tawakal kepada Allah SWT. 
           

Komentar

  1. Mbah Misdi, salah satu sesepuh reyog Ponorogo yang masih terus berkarya...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima