Langsung ke konten utama

Pilot & Bumi Manusia










BUKU



 

 





Judul           : Bumi Manusia – Terre des Hommes
Penulis       : Antoine de Saint-Exupéry
Penerbit     : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Desember 2011
Hak Cipta terjemahan
Bahasa Indonesia : Forum Jakarta-Paris
Editor        : Jean-Pascal Elbaz
Jumlah halaman : 224
Ukuran buku : 13,5 cm x 20 cm
               Buku ini pada dasarnya sebuah novel non-fiksi, ditulis oleh seorang pilot pesawat pos Prancis, Antoine de Saint-Exupéry, pada masa awal penerbangan komersial, yaitu sektiar tahun 1926, berisi berbagai pengalamannya selama menjalankan tugas. Buku ini terutama diperuntukkan bagi Henri Guillaumet, pilot senior yang ia kagumi karena keberaniannya “membuka” rute baru untuk daerah-daerah berbahaya bagi penerbangan kala itu. Dengan berbagai kendala teknologi a.l. peralatan navigasi terbatas, kemampuan mesin yang belum canggih dan sebagainya, mereka menjalankan tugas dengan penuh kesetiaan.
             Para pilot itu jarang bertemu, kecuali di satu tempat makan/minum bila sama-sama transit di sana. Dan bila rekan mereka tak ada kabarnya dalam tempo sepuluh menit, dapat dipercaya mereka tewas di pegunungan yang dingin atau di gurun Afrika yang ganas-panas.
Dari pengalamannya sebagai pilot, Antoine menemukan bagaimana cara pandang terhadap bumi di bawahnya, dan ditulisnya secara ekspresif. Di buku digambarkan suka-duka tugas dan kekaguman pilot terhadap rekan senior mereka yang mempengaruhi cara pandangnya terhadap kehidupan. Ia sampai pada kesimpulan bahwa keharusan-keharusan yang dibebankan oleh suatu profesi mengubah dan memperkaya dunia (hlm. 33). Pertemuan kembali, ditambah jawaban atas pertanyaan yang terputus, membuat hal itu amat berarti sebab masing-masing tak tahu apakah masih bertemu kembali ataukah tidak. “Dengan demikian, bumi terasa gersang sekaligus kaya. Kaya dengan taman rahasianya, tersembunyi, susah dicapai, tetapi profesi selalu mengantar kami kembali ke situ, hari ini atau nanti,” tulisnya (hlm. 39).
Antoine bekerja di perusahaan Latécoère, sebelum diambil alih Aéropostale dan kemudian oleh Air France. Sebagai pilot pemula ia bangga mendapatkan tugas terbang pertamanya dari Toulouse ke Dakkar. Kemudian ia bertugas di berbagai rute a.l. ke Argentina, Chili, dengan melangkahi Samudera Atlantik Selatan yang kaya badai, membedah pegunungan Andes yang ganas.
Ia ceritakan dengan lincah tapi penuh renungan, segala perjuangan para pilot itu di mana batas antara hidup mati setipis udara di atas sana.
Karya Antoine de Saint-Exupéry ini enak dibaca, penuh renungan di sela-sela pertarungan atau petualangan bersama rekan-rekannya antara hidup dan mati di pesawat yang mesinnya rata-rata sering rontok di udara. Sebuah buku yang tak kalah serunya dengan petualangan Dr. Karl May. Di tengah-tengah serbuan buku terlalu “ngepop” dan sulit dimengerti, tiba-tiba saja buku ini muncul mengingatkan kita kembali pada romantisme awal Abad ke-20 lalu.
Ia pernah menulis buku Le Petit Prince, Sang Pangeran Cilik yang cukup terkenal. Dalam menjalankan tugasnya Antoine pernah terdapar di gurun di Libya, ditangkap suku Bedouin dan pendek kata pernah mengalami petualangan a la Old Shatterhand atau Indiana Jones. Ia tewas di wilayah udara Laut Tengah tahun 1944. Penyebabnya tidak jelas, tapi semua percaya ia dan pesawatnya ditembak pesawat tempur Jerman. Jadi penyebabnya masih sebuah misteri melengkapi kehidupan yang pernah ia lakoni.
Buku ini perlu dibaca para remaja masa kini utamanya para pilot muda jaman sekarang yang sudah dimanjakan teknologi, guna mengingatkan kembali bagaimana para perintis penerbangan, para pendahulu mereka, bertarung untuk peradaban berikutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par