Langsung ke konten utama

Film The Artist Memang "Gila"




           Sineas Prancis memang “gendeng”. Mereka selalu kreatif, pantang meniru, dan menempatkan film sebagai karya seni bukan sekedar barang dagangan macam Hollywood. “Ideologi” mereka yaitu l’art pour l’art, seni untuk seni, tak peduli pakem-pakem yang sudah ada. Artinya bila ikut pakem, atau “buku pelajaran membuat film”, dus sama dengan yang lain-lain, maka mereka gagal berkarya seni.
           Oleh sebab itu gaya film Prancis benar-benar “gila” dan bagi mereka yang sudah tercekoki gaya Hollywood, kiranya perlu mengkonsumsi pil ketahanan urat syaraf untuk dapat menonton film negeri ini sampai habis, dengan jaminan belum tentu faham apalagi menghargainya. Pada umumnya film-film buatan Eropa daratan memang berbeda, istimewanya ya Prancis itu.
           Pada tahun 1988-an sutradara Prancis yang cukup terkenal André Tessiné berkata di depan wartawan di Jakarta bahwa membuat film bukan membuat paper. Maksudnya tentu tidak harus mengikuti aturan-aturan, pakem-pakem yang baku. Itulah intinya. Maka film-film Prancis sangat kreatif dengan berbagai eksperimen. Malahan sejumlah film yang “gila” sering dibuat ulang di Hollywood, seperti a.l. Three Men and A Baby, yaitu tentang tiga pria lajang yang terpaksa memelihara seorang bayi, kemudian Birdcase, seorang homo yang kelabakan karena anak lelakinya minta kawin dengan anak senator, dan masih banyak lagi.
          The Artist yang merebut Oscar 2012 ini sebagai film terbaik, memang disebut proyek “gila” oleh sutradaranya. Ia malahan menyebut pendananya juga gila mau membiayai proyek ini. Ternyata mereka sangat waras dan film terbukti sukses.

Hitam-putih tetap menarik
           The Artist, yang baik cerita maupun penyutradaraannya ditangani Michel Hazanavicius, tentu mengejutkan publik Indonesia yang sudah sangat terbiasa dengan film-film Hollywood yang menggelegar, penuh permainan efek-efek komputer, 3D, monster-monster ajaib, dan sebagainya, atau tercekoki film-film “Pocong” serta percintaan cengeng di dalam negeri, maka kehadiran film Prancis ini aneh. Ia muncul dalam hitam-putih, dan mengambil style tahun 1927.
Film hitam-putih nampaknya tak lekang pesona keindahannya di tengah hiruk-pikuk teknologi digital sekarang ini. Beberapa film sebelumnya memang juga dibuat dalam hitam-putih dan mampu membetot perhatian seperti The Elephant Man dekade 70-an yang memunculkan Anthony Hopkins, Raging Bull (1980) tentang petinju Joe de la Motta, yang memberikan Oscar bagi Robert de Niro sebagai aktor terbaik. Kemudian juga Schindler’s List besutan Steven Spielberg tentang penyelamatan sekelompok orang Yahudi oleh industriawan Jerman, dan masih banyak lagi.
           Kelihatannya film The Artist yang hitam-putih dan sebagian besar bisu ini dibuat dengan “mudah”, karena tidak berdialog, tapi diwakili teks-teks seperti film bisu akhir dekade 1920-an, serta ilustrasi musik sepanjang film. Padahal, problem besar terjadi pada fotografinya, karena harus berjuang menghidupkan gambar dalam gradasi putih, abu-abu sampai hitam. Kendati tak bersuara, film ini tetap menggunakan dialog yang tak terekam di audionya. Kelebihan lain film hitam-putih adalah suasana dramatiknya, misterius. Ini yang dieksploitasi oleh sutradara Michel Hazanavicius.
          Akting, memang harus kembali ke jaman film bisu yang berlebihan seperti gaya Charlie Chaplin. Ekpresi dalam bentuk olah tubuh dan olah mimik sangat menonjol guna mewakili ekspresi dialognya. Jean Dujardin (Aktor Terbaik 2012) menguasai dua unsur itu dengan baik, demikian juga aktris pendukungnya, Bérénice Bejo, yang juga diunggulkan tapi kalah oleh Octavia Spencer (The Help). Tampang Jean yang tampan didandani persis aktor tahun itu, lengkap dengan kumis a la Carry Grant atau Errol Flyn yang kemudian ditiru artis kita serta Singapura seperti Bing Slamet dan P. Ramlee.

Sederhana itu sulit
           Cerita The Artist sangat sederhana dan sangat klasik. Adalah aktor film bisu George Valentin (Jean Dujardin) mengalami masa jaya. Seorang gadis penggemarnya, Peppy Miller (Bérénice Bejo), tergila-gila. George menasihati (dalam teks tentunya): “Jika kamu ingin menonjol, maka kamu harus berbeda dengan yang lain”. George memberi satu titik tahi lalat di ujung bibir bagian atas kanan, mirip apa yang dipunyai Marilyn Monroe, Madonna atau Titin Sumarni, bintang film kita di era 50 hingga 60-an dulu.
           Adegan Peppy yang masuk ke kamar rias George dan membayangkan dirinya dipeluk aktor itu dengan menciumi dan memasukkan tangannya ke lengan jas yang tergantung sangat ekspresif. Tangan Peppy yang masuk ke lengan jas dan seolah-olah membelai pinggangnya, menawan. Dari sini mereka berkenalan.
          Peppy berhasil menjadi aktris pembantu di studio George karena kemampuannya menari. Lama-lama perannya meningkat. Badai menyerang George Valentin ketika era film bicara (talkie) tiba. Produsernya yang diperankan John “Flintstone” Goodman menganggap ia “habis”. George memberontak lalu ia menulis skenario, menyutradarai dan memproduksi film Tears of Love yang gagal dan membuatnya bangkrut. Istrinya pun meninggalkannya kecuali sopirnya yang setia, Clifton (John Cromwell) walaupun setahun tak dibayar.
           Peppy Miller yang sudah menjadi aktris tersohor, datang menolong George Valentin yang nyaris bunuh diri. Aktris ini memborong diam-diam barang-barang George di pelelangan. Ia semakin terharu ketika mengetahui George memegang erat rol film yang berisi adegan mereka berdua waktu rumahnya terbakar. Pertolongan terbesar Peppy adalah ketika ia menekan produser untuk memakai kembali George Valentin dan berhasil. Last shot film ini adalah ketika film terbaru keduanya disyut dalam keadaan bersuara, demikian juga filmnya, satu ekspresi yang menggambarkan datangnya era film talkie pada George Valentin.

Adegan-adegan manis
           Tercatat beberapa adegan yang tergambar secara manis oleh Michel Hazanavicius, selain di dalam kamar rias seperti yang sudah dituturkan. Ketika George menyadari dirinya tersisih hanya karena ia dalam “bisu”, ancaman itu terbawa dalam mimpi. Dia tak bisa bersuara apa pun, selagi anjingnya terdengar menggonggong, dan bahkan selembar bulu pun terdengar menggelegar ketika jatuh di tanah. Audio dihidupkan, kecuali untuk George.
Adegan lainnya yang cukup ekspresif adalah gambar ketika ia menjadi pemabuk, dan menumpahkan minuman ke meja kaca. Cukup indah. 
          Demikian juga saat George memegang senjata ingin menyudahi hidupnya. Ia memasukkan laras revolvernya ke mulut dan penonton dibiarkan tegang beberapa saat. Kemudian adegan di-cut untuk memunculkan teks: BANG! Tentu penonton mengira pistol itu meledak dan mengakhiri penderitaan aktor sial itu. Ternyata itu suara mobil Peppy yang menabrak pohon di depan rumah sewaan George karena aktris itu tak pandai menyetir dan memaksa mendatangi rumah idolanya karena khawatir keadaannya.
           Itu hanya beberapa dari adegan ekspresif yang harus dilakukan sutradara sebagai konsekuensi tiadanya suara.
           Satu hal lagi yang harus diacungi jempol adalah kostum. Bayangkan mereka harus membuat kostum tahun 1927-an dalam jumlah banyak dan harus sama dengan mode jaman itu. Pantas bila film ini juga merebut disain kostum terbaik, di samping music score yang juga merebut Oscar. Sesungguhnya, penata dekor juga patut dipuji karena ia mengusahakan properti yang dipakai pada era itu dengan baik.
Total film ini menggondol 5 (lima) Piala Oscar meliputi:
  1. Film terbaik
  2. Aktor pemeran utama terbaik
  3. Music score terbaik
  4. Sutradara terbaik
  5. Disain Kostum terbaik
      Walaupun menyabet 5 (lima) Piala Oscar, tapi The Artist belum mampu menyaingi One Flew Over the Cuckoo’s Nest atau The Silence of the Lambs yang masing-masing menyabet lima kategori utama Piala Oscar. Bila ingin mencari selingan tontonan film di tengah film laga penuh kekerasan atau hantu-hantuan, maka The Artist menjadi selingan mengasyikkan, pun jadi noslagia bagi mereka yang pernah mengakrabi film bisu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima