Langsung ke konten utama

13 Hari tegang sekitar Suharto lengser





-          BAGIAN-13 – Hari ke-12, 22 Mei 1998: Suamiku jadi Pangkostrad

Pagi hari ini aku sudah punya rencana yang pasti yaitu mengontak suamiku, JL, di kantornya lewat ponsel. Tentu saja aku sampaikan pula permintaan maafku karena aku telah “kabur” tanpa sengaja dari rumah mertua.
Tapi ada satu hal penting yang ingin ku-check kembali kepada JL, yaitu kabar mengenai diangkatnya dia menjadi Panglima Kostrad menggantikan Panglima waktu itu yaitu Letjen TNI Prabowo yang juga menantu Presiden Suharto.
Kabar itu justru kudapatkan dari kakak iparku, Willy Lumintang. Semalam ia menelepon aku guna mengatakan bahwa suamiku akan menjadi Pangkostrad. Dari mana ia tahu kabar itu kakak iparku tak mau bercerita sama sekali. Panggilan ponselku kepada JL sampai pula padanya segera pagi itu. Lalu kuceritakan apa saja yang aku alami kemarin termasuk kelupaan berpamitan kepada mertua. Kukatakan kepadanya kalau Willy mendengar adiknya akan diangkat menjadi Panglima Kostrad.  
            “Apa benar begitu?” tanyaku. JL hanya menjawab kalem, “Iya…itu katanya….tapi Pak Wiranto sudah bilang kalau sayalah yang paling cocok dari ketiga calon yang ada.”
            Menurutku itu wajar sebab sebagai Asisten Operasi tentunya tahu betul di mana saja pasukan berada dan berapa jumlahnya. “Namun itu belum pasti, karena Papa belum mendapatkan Sprint (Surat Perintah) dan Printlak (Perintah Pelaksanaannya),” sambungnya lagi. “Oh, ya sudah,” jawabku singkat.
            Pada kira-kira pukul 11.00 siang harinya suamiku menelepon bahwa ia telah mengetahui Surat Perintah dari Pangab sudah diterbitkan, tapi secara pribadi ia belum menerimanya.
            Lalu pada pukul 13.00 datang telepon dari ajudan JL, Serma Gito, yang dengan tergopoh-gopoh mengatakan bahwa menurut informasi yang didapatnya Sprint sudah di tangan Bapak (maksudnya suamiku). “Tapi Pintlaknya belum, Bu,” katanya selanjutnya.
            Tentunya kalau JL benar-benar jadi Panglima Kostrad maka dia akan mendapatkan tugas, beban tanggung jawab tidak kecil. Sebagai istri yang telah mendampingi suami yang bertugas sebagai prajurit aku memahami betapa berat rintangan dan tantangan yang akan dihadapi suamiku. Ia akan mengemban tugas berat. Selama ini ia selalu diterjunkan pada saat-saat genting dan ia menurutku selalu berhasil menjalankan tugas yang dibebankan ke padanya.
            Hari itu aku merasa perjalanan waktu amat lambat dan menyiksa. Sekitar pukul 16.00 petang datang lagi informasi dari ajudan. Kali ini berita bahagia nampaknya. Printlak sudah di tangan JL dan akan dilangsungkan serah terima jabatan segera hari itu dengan Pak Prabowo Soebianto.
            “Wah, Bu, ada berita gembira. Printlak sudah di tangan Bapak. Tapi Bapak sulit menghubungi Ibu sebab beliau diminta selalu mendampingi Pak Bagyo (KSAD Jenderal TNI Soebagyo),” tutur Gito.
            Sejam berlalu aku mulai gelisah menanti kabar perkembangannya. Aku bertanya-tanya apakah serah terima jabatan (Sertijab) sudah dilaksanakan atau belum. Tak ada kabar apa-apa. Aku lalu menghubungi Gito lewat ponselnya.
            “To, omong-omong Pak Prabowo-nya sudah ada atau belum?” tanyaku pada ajudan JL.
            “Belum kelihatan tuh, Bu. Saya juga bingung mau serah terima jabatan dengan siapa nanti itu….,” jawab Gito dengan sungguh-sungguh.
            Aku semakin bingung dengan keadaan seperti itu. Ada apa ya? Pokoknya keadaan waktu itu sangat membingungkan, penuh tanda tanya besar.
            Kurang lebih setengah jam kemudian datang lagi telepon dari Gito. “Bu, saya lihat ada Pak Prabowo di sini, tapi saya tidak tahu apa yang terjadi di dalam,” tuturnya.
            “Baiklah tolong ya To, saya sangat perlu Bapak,” kataku.
            “Baiklah Bu nanti saya sambung lagi,” jawabnya kemudian menutup hubungan teleponnya.
            Pada sektiar pukul 20.00 JL meneleponku. Ia berkata: “Aduh, sudah sekian lama aku enggak dengar suaramu…,” katanya dengan nada senang. Ketika kusinggung mengenai serah terima jabatan ia menjawab: “Sudah, sudah selesai…saya sudah jadi Pangkostrad.”
            Hatiku bertambah lega. Dia sekarang bertambah maju lagi sebagai Panglima Kostrad. Aku bangga padanya.
            “Lha, Sertijabnya di mana?” tanyaku, “Pak Prabowo terus di mana sekarang?”
            “Enggak Mah, Prabowo enggak ada….,” suaranya datar dan pelan sekali dan menurutku ia agak kecewa saat itu. “Aku menerima tongkat komando dari KSAD Jenderal Soebagyo…,” sambungnya.
            “Jadi Papah pulang atau tidak?” tanyaku. Ia menjawab tidak pulang dahulu.
            “Tolong antarkan baju preman sama baju dalamku karena aku langsung bertugas ke Markas Komando Kostrad,” pintanya. JL meminta seluruh anggota keluarga berdoa agar bisa menjalankan tugas berat sekarang ini. “Jangan Amin dulu, sampai besok.”
            “Kenapa Pah?”
            “Karena Papah harus mengeluarkan para mahasiswa seluruhnya dari Gedung MPR/DPR, tolong ya Mah,” jawabnya. Aku mengingatkannya untuk berhati-hati berhadapan dengan mahasiswa karena mereka ini anak-anak kita sendiri, keponakan sendiri, saudara-saudara kita sendiri. Ia mengiyakannya.
            Sekitar pukul 23.00 KL menelepon lewat ponselnya. Katanya: “Mah saya sudah di Gedung MPR/DPR . Tugasku berat tolong doakan lagi saya ya mah…”
            Aduh aku ikut-ikutan tegang sekali. Aku seolah ikut terjun ke lapangan dan merasakan betapa pelik dan beratnya tugas JL sekarang ini. Aku kemudian menelepon Mertuaku di Ratahan agar memberi doa kepada putranya yang sedang mengemban tugas berat.
            Kalau saja mahasiswa gagal dikeluarkan dari gedung itu, entah apa jadinya esok, kataku padanya.
            Di kemudian hari aku mendengar darinya bahwa suasana lobby dan ruangan-ruangan kerja saat itu sudah kacau balau. Sebagian mebel (furnitur) ruangan rusak berat, komputer berjatuhan di lantai dan semacamnya.
            Setelah beberapa lama sesudahnya JL bercerita bahwa ia berhasil mendekati para mahasiswa dan mengatakan agar mereka meninggalkan gedung karena untuk menggelar Sidang Istimewa esok hari. Para petugas kebersihan dari Pemprov DKI Jakarta sudah siap untuk melaksanakan tugas membersihkan sampah dan kotoran lainnya di Gedung wakil rakyat tersebut.
            Para mahasiswa mau mengerti maksud tersebut dan menyingkir dari Senayan. Mereka menolak diantar pakai kendaraan milik Kostrad dan memilih diantar pakai kendaraan milik Korps Marinir. Akhirnya serombongan demi serombongan para mahasiswa meninggalkan Senayan menjelang dinihari.

(BERSAMBUNG – Bagian 14: Suamiku diberhentikan)
 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima