Langsung ke konten utama

Patung “thuyul” asal Majapahit







Buku mengenai koleksi terakota asal Majapahit

Judul                                      : Majapahit Terracotta
                                               The Soedarmadji Jean-Henry Damais Collection
Penulis                                  : Soedarmadji J.H. Damais
Bahasa                                  : Inggris
Editor Kepala                         : Helly Minarti
Editor                                     : Sherry Kasman Entus
Fotografer                             : Eky Tandyo
Penerbit                                 : BAB Publishing Indonesia
                                                  Jl. Riau No.4, Menteng, Jakarta 10350
                                                  Telp. 62 21 390 7441-2
                                                  www.babpublishing.com
Edisi                                       : Cetakan pertama, Mei 2012
Jumlah halaman                      : 147 halaman
Kertas                                    : art-cartone, full-color
Ukuran buku                           : 14 cm x 19,5 cm

Patung "thuyul"
                Kisah hidup penulis buku ini yaitu Soedarmadji Jean-Henry Damais (biasa dipanggil Adji Damais), agak unik. Ia adalah peranakan Indo-Eropa, ayahnya seorang profesor ahli sejarah dan kebudayaan asal Prancis, Louis-Charles Damais, sedangkan ibunya ahli perpustakaan dan permuseuman asal Yogyakarta R.A. Soeyatoen Poespokoesoemo. Saat remaja ia ikut ayahnya di Paris dan belajar arsitek, tapi kemudian berbelok ke sejarah serta kebudayaan timur jauh, terutama Polinesia. Saat pulang ke Indonesia setelah meninggalnya sang ayah tahun 1966, ia enggan balik ke Paris, karena tertarik pada kehidupan kota Jakarta yang ketika itu hampir tiap malam orang ramai, hiruk-pikuk menunggu pembukaan angka hwa-hwe dan lotto.
                Pada periode hidupnya kemudian ia dikenal sebagai ahli sejarah dan museum, tak jauh-jauh dari kedua orangtuanya. Ketika Gubernur DKI Ali Sadikin mencanangkan pemugaran gedung Stadhuis atau Balaikota Hindia Belanda (kini Museum Sejarah Jakarta) serta wilayah Kota Lama Jakarta Kota tahun 1970, Adji Damais bersama seorang ahli keramik AS asal Italia, Sergio Dello Strologo, adalah pengusul ide pemugaran tersebut. Ia pun kemudian “terjerumus” menjadi pegawai negeri DKI Jakarta, dan bekerja di bidang sejarah dan permuseuman.
                Ketika mulai terjun di bidang pemugaran ia sering ditawari barang-barang antik dari para pedagang barang-barang kuno. Beberapa di antaranya adalah barang-barang terbuat dari terakota atau tanah bakar asal Majapahit. Karena tertarik akan barang-barang tersebut maka lama-lama ia menjadi kolektor benda-benda budaya, dan sejarahwan amatir seperti dikatakannya dalam Kata Pembukaan buku.
Tempat sesajian
utama yaitu barang-barang keperluan/peralatan rumah tangga, seperti kendi, piring, mangkok/jambangan, dan sebagainya. Kedua berupa ornamen bangunan seperti tiruan atap rumah, miniatur candi, dan lain-lainnya. Ketiga adalah patung-patung miniatur manusia dalam berbagai bentuk, termasuk patung anak kecil yang diduga rekaan tentang sosok hantu bertubuh kecil bernama Thuyul!  
                Foto-foto yang disajikan dalam buku bagus sekali, pengaturan penyinarannya seolah menghidupkan patung “kreweng” (Jw, terakota) yang sudah berusia ratusan tahun itu dalam kesan tiga dimensinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par