Langsung ke konten utama

Sejarah, peran, Pura Pakualaman







BUKU

Judul                            : Puro Pakualaman – sejarah, konstribusi dan nilai kejuangannya
Penulis                         : Djoko Dwiyanto
Penerbit                        : Paradigma Indonesia Jl. Waru N0.73B Sambilegi, Maguwoharjo, Yogyakarta
Tahun terbit                   : 2009
Jumlah halaman            : viii + 467
Ukuran buku                  : 15,5 cm x 23 cm
Kertas                           : HVS 70 mg
                                                                  


            Akhirnya UU Keistimewaan Yogyakarta disahkan, dan Gubernur maupun Wakil Gubernur dilantik 10 Oktober 2012. Berdasarkan UU tersebut Gubernur Daerah Istimewa menjabat berdasarkan penunjukan, tidak melalui pemilihan. Semula inisiator dan pendukung RUU yang menghendaki Gubernur DIY dipilih, agar sama dengan provinsi lain, diserang habis-habisan. Tak urung Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dituding tidak memahami dan harus belajar lagi sejarah nasional.
            Para pendukung DIY menyebutkan, Kraton Yogyakarta (termasuk Pura Pakualaman) serta DI Aceh merupakan modal dasar kemerdekaan NKRI, dan keistimewaan itu melekat sejak awal republik ini diproklamasikan. Kontribusi Yogyakarta di bawah almarhum Sultan Hamengku Buwana IX begitu banyak, almarhum banyak berkorban baik moril, materiil, serta integritas pribadi Sultan yang dikenal merakyat itu.
            Pura Pakualaman tidak sepopuler Kraton Yogyakarta Hadiningrat, akan tetapi Kadipaten itu punya andil besar dalam awal kemerdekaan RI dan banyak meninggalkan warisan seni sastra, seni tari dan sebagainya.
            Sejarah Pura Pakualaman – sama seperti kerajaan lainnya di Nusantara – penuh dengan intrik, hasut-menghasut, iri-dengki sehingga kondisi inilah yang menguntungkan para penjajah lewat politik devide et impera mereka. Pura ini memulai sejarahnya sendiri ketika Sir Stamford Raffles melantik Pangeran Notonegoro sebagai Pangeran Merdiko (Merdeka, pen) di dalam kraton dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Pakualam(1812-1829) pada hari Senin, 29 Juni 1812. Kira-kira setahun kemudian Sri Pakualam pertama ini menandatangani Kontrak Politik dengan Gubernur Inggris 17 Maret 1813. Tanggal ini cukup berarti bagi Pura Mangkunegaran di Surakarta sebab 17 Maret 1757 Sri Mangkunegara menandatangani Perjanjian Salatiga dengan Kompeni Belanda.
            Waktu berjalan terus dan kedudukan sebagai Sri Pakualam berikutnya bergulir hingga pada 11 September 1998 saat Sri Pakualam VIII mangkat terjadi konflik internal Pura. Terjadi pertentangan ketika nama KPH (Kanjeng Pangeran Haryo) Ambarkusumo diajukan. Di antara 15 pewaris utama sebanyak 10 orang setuju, lima lainnya menolak. Persetujuan berdasarkan paugeran praja kejawen (peraturan kerajaan Jawa), bilamana raja tidak mempunyai permaisuri, dan tidak meninggalkan wasiat, maka yang berhak menggantikan adalah putra laki-laki tertua. Kelihatannya konflik itu terus berlangsung hingga menjelang pelantikan dalam isu berbeda.
            Dari para Sri Pakualam, ada beberapa yang perlu dicatat, karena berkaitan erat dengan sejumlah pelaku sejarah nasional. Sri Pakualam IV misalnya (1864-1878) dalam buku yang ditulis oleh Djoko Dwiyanto  ini menyebutkan, Pakualam IV menikahi putri Sultan Hamengku Buwana VI yaitu G.K. Ratu Ayu. Perkawinan ini tidak menghasilkan keturunan sehingga Sri Pakualam menceraikannya. G.K. Ratu Ayu kemudian menikah dengan Bupati Demak yang melahirkan ayah R.A.Kartini.
            Sedangkan Sri Pakualam I pernah bertindak sebagai wali Sultan Hamengku Buwana IV karena ia masih terlalu kecil. Pengangkatan atas arahan Raffles tersebut membuat Pangeran Dipanegara berang karena ia adalah kakak Sultan dari ibu lainnya. Residen Graham pun kurang setuju karena menganggap hal ini akan menyulitkan kelak. Pada 27 Januari 1820 Sultan HB IV sudah mampu memerintah dan Sri Pakualam berhenti sebagai wali. Ketika terjadi Perang Dipanegara antara tahun 1825-1830, Sri Pakualam I bersifat pasif hingga mangkatnya 4 Oktober 1829.  

Sumbangan Pura Pakualaman
            Penulis buku ini Djoko Dwiyanto, menuturkan riwayat tahta Pura Pakualaman, biografi kecil para penguasanya, serta warisan seni-budaya yang memberi sumbangan berarti bagi kebudayaan Jawa, khususnya, nasional pada umumnya (dari halaman 1 s/d 106) sedangkan halaman 107 hingga 360 berisi serat tembang-tembang yang mengisahkan para penguasa Pakualaman.
            Beberapa warisan pustaka yang disebut Djoko Dwiyanto a.l. Serat Babad Betawi, Serat Rama (sempalan dari Serat Rama Keling Ramayana) Serat Baratayudha, Serat Weda Madya, Suluk Siti Jenar, dll. Karya karawitan dan tari a.l. tari serimpi Andonsari, Bedhaya Sanga, Puspawarna, dan masih banyak lagi.
            Buku ini cukup baik untuk dibaca para pengamat pada tingkat awal untuk dapat meningkatkan studinya lebih lanjut sesuai bidang penelitiannya. Di samping popularitas Kraton Yogyakarta Hadiningrat, Pura Pakualaman yang terletak di Notokusuman, cukup menarik untuk diamati.

           
                         


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima