Langsung ke konten utama

Sudah 17 Tahun Ibu Tien Tiada





            




            Di tengah takbir Idhul Adha pada pagi hari Minggu 28 April 1996, tepat 17 tahun silam, tiba-tiba suasana menjadi muram. Di pagi yang seharusnya kaum muslim bergembira merayakan Idhul Adha, serta memotong hewan kurban mereka untuk dibagi-bagikan kepada yang berhak, udara pagi seolah dipenuhi aroma duka cita.
Ketika kaum dhuafa seharusnya merasa senang dapat menikmati daging sapi atau kambing gratis, mereka harus mendengarkan lagu bernada sedih “Gugur Bunga” dari berbagai stasiun TV nasional. Betul, pagi itu, tepat pada hari raya Idhul Adha, Ibu Negara Ibu Tien Soeharto, first lady (12 Maret 1967-28 April 1996) yang cantik, berlesung pipit, murah senyum dan bersuara merdu itu menghembuskan nafasnya yang terakhir pada pukul 05.05 WIB di Jakarta pada usia 73 tahun. Tidak banyak kabar beredar mendiang menderita sakit sebelumnya. Mendiang Ibu Tien Suharto dilarikan ke di RSPAD Gatot Subroto karena mendapat serangan jantung sehari sebelumnya.
            Rumor yang beredar waktu itu menyebutkan, beliau menjadi semacam salah sasaran tembak akibat pertikaian dua putranya. Rumor itu tidak pernah terbukti.
Di masa itu kehidupan keluarga Presiden Soeharto tidak banyak terungkap ke publik, apalagi langsung dari mulut Presiden RI yang kedua itu. Hanya satu dua kali saja Pak Harto “curhat” ke publik, antara lain di Rumah Sakit Pusat Pertamina tahun 1974 ketika meletus peristiwa Malari (Limabelas Januari).
Ia pun juga pernah menyinggung kritik yang ditujukan kepada Ibu Negara mengenai yayasan-yayasan yang dipimpinnya yang antara lain membangun Taman Mini Indonesia Indah. Sedangkan acara wajib yang selalu diliput pers adalah acara sungkeman di Hari Raya Idhul Fitri, serta acara ulang tahun baik Ibu Tien maupun Pak Harto.  Lain-lainnya serba tertutup rapat dari incaran media massa. Keluarga Presiden, yang terkenal dengan sebutan “Keluarga Cendana” membatasi mana masalah yang perlu diketahui publik dan mana yang tidak.

Minggu muram
            Kembali pada hari Minggu 28 April 1996. Kabar mengenai meninggalnya Ibu Tien Suharto cepat tersebar, sebab praktis stasiun TV nasional dan stasiun radio merelay kabar duka tersebut.
            Lima stasiun TV swasta ditambah satu milik pemerintah mengadakan siaran langsung atau merelay dari rekan-rekan mereka.  Stasiun TV swasta ketika itu adalah:
  1. RCTI – stasiun TV swasta pertama di tanah air kabarnya sahamanya dimiliki Bambang Trihatmodjo, anak kedua Keluarga Suharto, dan Tutut si sulung).
  2. SCTV – stasiun yang mula-mula bermarkas di Surabaya ini konon sahamnya dimiliki oleh Sudwikatmono, saudara Ibu Tien dan sejumlah putra-putri Suharto).
  3. TPI – kabarnya sahamnya dimiliki Tutut Suharto, putri sulung.
  4. ANTV – milik Agung Laksono, tokoh Golkar yang kini Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Indonesia Bersatu II.
  5. Indosiar – yang ketika itu disebut milik Liem Soei Liong (Sudono Salim), teman dekat Pak Harto.
  6. TVRI – stasiun TV milik pemerintah di bawah pengendalian Departemen Penerangan.
Di layar kaca dapat disaksikan bagaimana dua kelompok reporter TV menyiarkan langsung, pandangan mata, mengenai kesibukan di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, kediaman pribadi Keluarga Suharto.
            Kelompok pertama dari RCTI dengan Zsa Zsa Yusharyahya sebagai reporter, melaporkan langsung dari rumah Keluarga Suharto di Jln. Cendana. Kelompok berikutnya dari TVRI stasiun Jakarta, dengan  Magdalena Daluas sebagai reporter. Zsa Zsa sempat terhenti kehilangan bahan ketika melaporkan keadaan di tempat tersebut, sedangkan dari TVRI begitu lancar dan komplet karena didukung pengalaman bertahun-tahun serta didukung referensi memadai.
            Stasiun TV juga memunculkan telop foto Ibu Tien, dengan karangan bunga dan ucapan berbela sungkawa. Beberapa menyebutkan bangsa Indonesia menyatakan berduka cita.
            Sementara itu berbagai stasiun radio tetap bersiaran seperti biasa, hanya sesekali menyiarkan perkembangan terakhir situasi di Jalan Cendana. Siaran mereka masih seperti hari-hari biasa, lagu-lagu, tanya jawab dan diselingi iklan. Kantor-kantor masih sempat mengibarkan bendera setengah tiang walaupun pada hari minggu, sedangkan toko-toko sebagian besar tutup karena memang hari libur.
Ibu Tien Suharto dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga Astana Giribangun, terletak di daerah Tawangmangu, Sukoharjo, Jateng, esok siangnya, 29 April 1996 sekitar pukul 14.30 WIB. Upacara pemakaman tersebut dipimpin oleh inspektur upacara yaitu Ketua DPR/MPR saat itu, Wahono dan Komandan upacara Kolonel Inf G. Manurung, Komandan Brigif 6 Kostrad. Pada upacara pelepasan jenasah, bertindak sebagai inspektur upacara, Letjen TNI (Purn) Ahmad Taher sedangkan yang bertindak sebagai Komandan Upacara adalah Kolonel Inf Sriyanto, Komandan Grup 2 Kopassus Kartasura saat itu.

Siapa Ibu Tien?
Ibu Tien Suharto bernama asli Raden Ayu Siti Hartinah lahir di Desa Jaten, Surakarta, Jawa Tengah, 23 Agustus 1923, putri kedua  seorang Wedana yaitu KPH Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmanti Hatmohoedojo. Mendiang adalah canggah atau anak dari cicit Mangkunagara III dari garis ibu.
Sebagai anak wedana Ibu Tien tentu hidup berkecukupan dengan didikan ketat secara adat istiadat Jawa dari kedua orangtuanya. Wajahnya yang bulat segar (blengah-blengah, Jw) menurut kepercayaan orang Jawa membawa rejeki dan derajat yang baik.
Di mana pun seulas senyum selalu menghiasi wajah Ibu Tien, tidak pernah Nampak gambarnya yang menunjukkan mimic wajah yang lain. Suaranya lembut, merdu dan akrab. Mendiang Ibu Tien terkenal akrab dan grapyak (Jw, ramah) pada orang lain. Tercatat Dorce Gamalama yang sering dipanggil ke Cendana oleh Ibu Tien. Bu Tien sering nampak tertawa geli saat bertemu dan berbincang dengan Ny. Mien Sugandhi yang pintar bercerita.
First lady kedua di Indonesia ini gemar memasak sendiri untuk suami dan putra-putrinya. Bahkan dalam setiap kesempatan berekreasi, Ibu Tien selalu menyempatkan diri mengulek sambel sendiri dan dinikmati baik dengan keluarga maupun para pengawalnya.
Terkadang, dalam kesempatan penting keluarga, misalnya membicarakan masalah yang cukup penting, mendiang Ibu Tien dapat melakukannya sambil memasak, persis seperti tipikal ibu-ibu dari Jawa pada jaman dulu.

Menikah dengan Pak Harto
            Presiden Suharto dalam buku Soeharto – Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (SPUTS)  terbitan PT Citra Lamtoro Gung Persada, Jakarta, 1988, membeberkan bagaimana pertemuan dan perkawinannya dengan Ibu Tien.
            Ketika ia masih menjadi Komandan Resimen TNI, Pak Harto mendapat kunjungan orangtua angkatnya di Wuryantoro, Wonogiri, yaitu Prawirohardjo. Sebagai orangtua ia gelisah melihat Suharto masih membujang pada usia 26 tahun. Maka ia pun menyebut nama Siti hartinah, putri Wedana Wuryantoro yang juga dikenal Pak Harto semasa kecil. Pak Harto setuju dan pernikahan dilangsungkan pada tanggal 26 Desember 1947 di kota Surakarta (Solo) setelah sebulan Ibu Tien menderita sakit. Pasangan ini dikaruniai enam putra-putri yaitu Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto (Sigit), Bambang Trihatmodjo (Bambang), Siti Hediati (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy) and Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).

Kalau Pak Harto meninggal duluan
            Dalam buku otobiografi (SPUTS)  itu Pak Harto nampaknya mengira akan pergi dulu menghadap Illahi, mungkin secara usia ia lebih tua dua tahun sehingga mengiranya demikian.
Ibu Tien mengulek sambel sendiri
            “Kalau saatnya tiba saya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, maka mengenai diri saya selanjutnya sudah saya tetapkan: saya serahkan kepada istri saya.”
            Baik Pak Harto maupun Ibu Tien sebenarnya sama-sama mendapatkan Bintang Gerilya sehingga berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Ibu Tien lebih memilih membangun kompleks pemakaman di Mangadeg, yaitu Astana Giribangun, yang peletakan batu pertama pembangunannya dilakukan oleh Ibu Soemoharjomo (ibu mertua Pak Harto) pada 27 November 1974, dan diresmikan 27 November 1974.
            Ternyata Allah SWT menentukan lain, setelah Ibu Tien meninggal dunia tahun 1996 itu, baru Pak Harto menyusul tutup usia pada tanggal 27 Januari 2008 pada usia 86 tahun. Ibu Tien sudah dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional.


Ibu Tien dan “wahyu Nusantara”
            Banyak sekali rumor yang beredar mengenai ilmu kebathinan di lingkungan Cendana, terutama pada diri Pak Harto dan Ibu Tien. Ada yang menduga “wahyu Nusantara” yang menurut kepercayaan Jawa kuno menjadi dasar kekuatan seseorang untuk memimpin bangsanya, jatuh ke pangkuan Ibu Tien, bukan pada Pak Harto. Ada yang menganalisis sebenarnya yang memegang wahyu Nusantara adalah ibunda Bu Tien yaitu Ny. Soemoharjomo. Entahlah bagaimana sebenarnya sebab ilmu demikian ini sulit dijelaskan memakai akal manusia “modern”, belum bias dijelaskan secara ilmiah.
            Namun yang jelas, menurut “condro” (pengetahuan untuk mengetahui sifat, dan masa depan orang berdasarkan wajahnya) orang Jawa, wajah Bu Tien memang wajah orang yang memiliki rejeki besar, makmur, dan mampu menjadi panutan. Tentunya semuanya itu ada di tangan Tuhan YME.
            Pada tanggal 28 April 2013 ini tepat 17 tahun Ibu Tien tutup usia, semoga arwahnya diterima di sisi Allah SWT, diampuni segala kesalahannya dan diterima segala amal ibadahnya.
Banyak hal yang bisa kita pelajari, kita petik pelajaran dari Ibu Tien Suharto.

 Foto-foto dari buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, PT Citra Lamtoro Gung Persada, Jakarta, 1988)





Komentar

  1. Memang segala sesuatu di dunia selalu mempunyai dua sisi.
    Alangkah baiknya kita dapat mengambil hikmah di balik setiap kisah/sejarah.

    Salam SUKSES ...!!!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par