Langsung ke konten utama

Perlu Standardisasi Bahan Obat Tradisional


M. Yusuf, ahli pengobatan tumor-kanker secara tradisional




Kebutuhan akan pelayanan kesehatan serta obat-obatan kian meningkat. Setelah ada program BPJS maka kentara banyak sekali masyarakat yang sebetulnya tidak sehat betul.
Seiring dengan tuntutan itu kebutuhan akan tenaga medis juga kian menanjak, sehingga dua fakultas kedokteran dari dua universitas negeri menggratiskan kuliah di bagian ini, hingga ke tingkat spesialisnya. Diharapkan para lulusan nantinya dapat dikirim, disebar ke seluruh pelosok negeri guna mengisi kekurangan tenaga medis terlatih di Puskesmas di daerah-daerah terpencil.
Pemerintah kini mulai melirik pada pengobatan non-medis Barat dalam upaya memberi pelayanan kesehatan kepada rakyat. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1076/Menkes/SK/VII/2003, pemerintah mengakui upaya pengobatan tradisional sebagai salah satu perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran atau keperawatan. Diakui, masyarakat memanfaatkan cara tradisional guna mengatasi masalah kesehatannya, sebelum mendapatkan pelayanan modern.
Pengobatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya, menurut Menteri Kesehatan,  perlu terus dibina, ditingkatkan, dikembangkan dan diawasi untuk digunakan dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

Pak Kiki sedang meracik obat

Bahan herbal, natural
Umumnya pengobatan tradisional memanfaatkan bahan herbal atau tumbuh-tumbuhan, hewan, serta mineral. Indonesia dengan kesuburan tanahnya, ditambah sumber mineral kayanya, memiliki potensi besar guna mengembangkan bahan-bahan alami. Sayangnya obat dan teknik pengobatan tradisional sudah sejak lama dipandang dengan mata memicing, dan sering dihubungkan dengan masalah ketertinggalan, serta mistik.
Pengembangan pengobatan tradisional kita tentu saja jauh tertinggal dibandingkan Cina. Mereka sudah mengembangkan pengobatan tradisional sejak ribuan tahun lalu. Oleh karena itu standardisasinya sudah begitu rapi. Bahkan begitu telitinya sehingga bagi kita seolah mengada-ada. Misalnya saja, satu tanaman tertentu dipanen pada puncak musim dingin karena pertimbangan penumpukan zat tertentu yang berkhasiat dan dibutuhkan manusia. Bahan lainnya justru diambil pada musim panas karena alasan yang sama.
Demikian pula bahan yang diambil dari hewan, sering diambil pada saat hewan tersebut dalam keadaan tertentu. Sedangkan mineral dipilih dengan perhitungan tertentu pula.
Bahkan bahan yang sama dapat berbeda-beda kadar khasiatnya hanya karena ditanam di tempat yang berbeda-beda. Oleh karena itu satu daerah hanya menghasilkan bahan tertentu saja sesuai permintaan pasar. Penelitian mereka begitu begitu teliti karena memang sudah berjalan ratusan tahun sehingga mampu menerapkan standard yang baku.
“Sebenarnya Indonesia mampu berbuat seperti itu, asalkan dilaksanakan secara serius dan pantang menyerah,” kata Mochammad Yusuf, ahli pengobatan tumor dan kanker dari klinik Citra Insani, Sukabumi, Jawa Barat.
Ia melihat, para petani herbal kita belum serius mengejar batu mutu produk tanaman obat. “Mungkin karena sudah terlalu lama diabaikan,” imbuhnya.
Salah satu bahan obat dari batu mineral
Ahli obat-obatan tradisional Tiongkok lainnya, Kiki, menyebutkan bahwa ada beberapa bahan tanaman obat Indonesia yang memiliki mutu lebih baik dibandingkan produk Cina, salah satu di antaranya kumis kucing. Tanaman ini terdiri dari dua jenis, dan salah satunya sangat bagus kualitasnya. Sama seperti M. Yusuf ia berharap produk tanaman obat produksi Indonesia semakin meningkat kualitasnya. “Paling tidak akan lebih murah dibandingkan jika mengimpor dari Tiongkok,” katanya.
M. Yusuf memiliki teknik pengobatan tergolong baru di Indonesia, malahan boleh dikatakan ia memelopori sistem pengobatan campuran antara teknik medis Barat dengan tradisional Cina. Ia pernah memperdalam ilmu pengobatan tradisional modern itu di Guangzhou, Tiongkok. Cina sendiri secara resmi menggabungkan dua teknik pengobatan tersebut tahun 1985. Bukan hanya itu saja, ia malah menemukan formula anti-kanker yang sumbernya ia dapat dari buku pengobatan kuno warisan orang tuanya. Ia lalu mengembangkannya sendiri. Formulanya dicoba dan akhirnya diakui khasiatnya oleh Rumah Sakit Provinsi Quangdong, di Guangzhou, setelah “teraniaya” di negerinya sendiri. Rumah sakit itu hingga sekarang tetap menggunakan formula yang terdiri dari 200 bahan, dan komposisinya berbeda-beda untuk setiap jenis tumor atau kanker.
Mochammad Yusuf optimis, dengan dilaksanakannya secara konsekuen Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1076/Menkes/SK/VII/2003 akan banyak membantu perkembangan pengobatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan, merangsang peningkatan produksi serta kualitas obat-obatan tradisional, merangsang pertumbuhan ekonomi di sektor ini.
Pembuatan obat tradisional, khususnya herbal, di negeri kita sudah cukup maju, hasilnya sudah diekspor. Kita harapkan lebih meningkat lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Minyak Srimpi

          Pada era 50-an tak banyak produk minyak wangi yang beredar di pasaran, terutama yang harganya terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, minyak pengharum badan itu banyak diproduksi perusahaan-perusahaan kecil guna memenuhi kebutuhan pasar akan pengharum. Oleh karena formulanya sederhana dan memakai bahan-bahan atau bibit minyak wangi yang terjangkau, maka dapat dikatakan hampir semua minyak wangi yang beredar waktu itu baunya nyaris seragam.           Satu merk yang popular pada saat itu, dan ternyata masih eksis hingga sekarang adalah minyak wangi cap Srimpi. Minyak ini dikemas dalam botol kaca kecil berukuran 14,5 ml, dengan cap gambar penari srimpi, berlatar belakang warna kuning.           Pada masa itu minyak Srimpi dipakai oleh pria maupun perempuan klas menengah di daerah-daerah. Baunya ringan, segar, minimalis, belum memakai formula yang canggih-canggih seperti halnya minyak wangi jaman sekarang.            Ketika jaman terus melaju, maka produk-produk

Nasi Goreng Madura di Pontianak

                Kurang dari dua tahun lalu, Imansyah bersama istrinya Siti Hamidah dan dua anaknya merantau ke Pontianak, Kalbar, dari kampung halamannya di Bangkalan, Madura. Di kota muara Sungai Kapuas ini mereka tinggal di rumah seorang kerabatnya yang mengusahakan rumah makan nasi goreng (Nas-Gor) di Sui Jawi. Pasangan ini belajar memasak nasi goreng khas Madura. Akhirnya setelah memahami segala seluk-beluk memasak nasi goreng, ditambah pengalamannya berdagang di kampungnya dulu, Imansyah dan istrinya membuka rumah makan nasi gorengnya sendiri, diberi nama Rumah Makan Siti Pariha di Jalan S. A. Rahman.   Di sini mereka mempekerjakan dua orang gadis kerabatnya guna melayani langganannya. RM Siti Pariha menarik pembelinya dengan mencantumkan kalimat: Cabang Sui Jawi. Rumah makan yang terletak berderet dengan rumah makan khas masakan Melayu serta sate ayam Jawa ini buka dari pukul 16.00 petang hingga pukul 23.00 atau hingga dagangannya ludes. Setiap hari RM Siti Par

Pak RT ogah lagu Barat

                          Sudah lama Pak RT yang di serial Bajaj Bajuri selalu berpenampilan serba rapi, rada genit dan sedikit munafik tapi takut istri ini tak nampak dari layar kaca TV nasional. Sejak serial Bajaj Bajuri yang ditayangkan TransTV berhenti tayang, Pak RT yang bernama asli H. Sudarmin Iswantoro ini tidak muncul dalam serial panjang. Walaupun begitu ia masih sering nongol di layar kaca dengan peran yang nyaris tetap yaitu Ketua RT, Ketua RW, guru atau ustadz.             Di luar perannya sebagai Pak RT tempat si Bajuri (Mat Solar), dengan istrinya si Oneng (Rike Diah Pitaloka)   dan mertuanya yang judes plus licik (Hj. Nani Wijaya) berdomisili, H. Darmin (panggilannya sehari-hari yang resmi sedangkan merk-nya yang lain tentu saja “Pak RT”) adalah pria yang berpembawaan santun dan halus.             Barangkali pembawaannya itu dilatarbelakangi oleh pendidikannya sebagai seorang guru. Mengajar merupakan cita-citanya sejak kecil. Sebagai anak kelima